Minggu, 01 November 2009

SUKU BAJO

Ini sekadar berbagi cerita tentang suku Bajo Indonesia yang ternyata punya presiden sendiri. Juga tentang sedikit sejarah, kebiasaan, serta tingkat pendidikan mereka.

Mereka menyebut diri orang laut. Berpenghasilan besar, namun tingkat pendidikan sangat rendah. Tercatat hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara.

SIANG itu, dermaga sederhana Desa Mola (desa Suku Bajo terbesar di Wakatobi) terlihat sepi. Hanya ada beberapa anak berceburan di kemilau air laut.
Di belakang dermaga, berdiri deretan rumah bertiang kayu dikelilingi air laut. Khas rumah Suku Bajo. Hanya saja, sentuhan modernisasi mulai bermunculan. Sebagian kayu sudah berganti dengan fondasi batu karang warna putih. Masing-masing rumah luasnya bervariasi, sekitar 75 meter persegi. Biasanya dihuni tiga atau lebih keluarga.
Saat itu, suasana cenderung sepi. Lelaki Bajo tengah melaut. yang tersisa perempuan, orang tua, dan anak-anak.

Melaut
Melaut merupakan pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku Bajo. Awalnya, mereka menggunakan cara apa saja untuk mendapat ikan. Mulai dari bom hingga racun.
Rustam, salah satu nelayan mengatakan, “Saya dulu juga menggunakan bom, kerja dengan bos Philipina. Kami diajari merakit dan cara menggunakan. Tapi kemudian memilih bekerja sendiri, karena penghasilan tidak sebanding dengan risiko,” ceritanya.
Penangkapan ikan dengan bom biasanya dilakukan dalam kelompok. Yang paling berbahaya bila bertemu dengan kelompok lain. Pasalnya, setiap kelompok dibekali senjata, sehingga sering terjadi tembak-menembak.
Beberapa tahun terakhir, Rustam memilih bekerja sendiri. Lelaki yang dipilih sebagai motivator dalam sebuah program yang disponsori pemerintah dengan Bank Dunia — menyadarkan pentingnya kelestarian laut — kini melaut dengan senjata jaring yang dipasang di karang. Baru-baru ini, sekitar Rp12 juta dia kantongi. “Lumayan, sekarang saya mau istirahat dulu,” katanya sembari tersenyum.

Pendidikan rendah
Soal penghasilan, Abdul manan, kepala Bappeda Wakatobi yang juga menjadi Presiden Suku Bajo seluruh Indonesia mengatakan, pada dasarnya pendapatan rata-rata suku Bajo tergolong tinggi. Dalam satu hari bisa mencapai Rp300 ribu. Namun, biasanya habis dibelanjakan hari itu juga atau untuk membeli perhiasan emas. Belum ada konsep menabung, apalagi manajemen keuangan keluarga.
Soal pendidikan, kurang mendapat perhatian. Anak-anak lebih senang terjun mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya pun masih minim. “Minat mereka pada pendidikan masih rendah. Hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara,” papar Manan.
Sebagai Presiden Suku Bajo Indonesia, Manan memiliki impian dapat memajukan sukunya. Paling tidak, dia menargetkan bisa mencapai angka pendidikan hingga 10%. “Hanya dengan pendidikan tanpa menggusur budaya, kita bisa maju,” tukasnya.

Presiden Bajo
Berbicara tentang Presiden suku Bajo, ada kisah tersendiri. Beberapa tahun lalu Manan mendengar ada seorang datuk dari Malaysia mengunjungi suku Bajo di Sulawesi. Dia meminta kontak, kemudian saling email.
Dari situ dilanjutkan dengan pertemuan, yang akhirnya memunculkan ide membuat semacam persatuan orang Bajo dunia. “Suku Bajo ini sudah diakui PBB sebagai suku mandiri,” ungkapnya.
Maka, pada awal 2007 berdirilah semacam perkumpulan suku Bajo internasional. Saat ini anggotanya baru ndonesia, Malaysia, dan Philipina. Abdul Manan merupakan Presiden Suku Bajo pertama. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan suku Bajo dimana pun berada.
Abdul Manan, asli putra Bajo dari Sulawesi tenggara. Barangkali, baru dialah satu-satunya orang Bajo Indonesia yang sudah meraih gelar S2.
Lepas SD, sang ibu awalnya berpendapat, sebaiknya anaknya bergabung dengan kapal Australia menangkap ikan paus. Untunglah sang ayah mendukung keinginannya untuk sekolah. Pada 1976, dia merantau ke Bau Bau melanjutkan SMP hingga SMA. Kemudian mendapat beasiswa ke perguruan tinggi negeri di Kendari. Lepas itu dapat beasiswa lagi, ambil S2 di Thailand, jurusan manajemen tropika.

Sejarah Bajo
Tentang suku bajo, manan berkisah, tersebar di banyak tempat di Indonesia. Juga diberbagai negara termasuk Thailand. Meski demikian, bahasa yang digunakan tetap sama, bahasa Bajo.
Ada dua versi sejarah suku Bajo, pertama ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. Namun, menurut Manan, kalau dari bahasa, dia malah melihat ada kesamaan dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Kalau masalah ini sih, terserah saja….!